NADIA

Dari tempatku duduk saat ini, aku bisa melihat gerak-gerik pemuda itu dengan cukup jelas. Duduk di atas motor bebek warna merah yang terparkir di depan sebuah sekolah dasar, ia nampak gelisah. Selama dua puluh menit aku disini, kulihat sudah lima kali ia menengok jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kanannya. Selama itu pula aku sudah menghabiskan lima pisang goreng dan secangkir kopi tubruk nyamleng buatan bu Sum, pemilik warung langgananku ini.

"Tumben ndak ngerokok, pak Rudi," celutuk bu Sum sembari meletakkan sepiring ketela goreng di hadapanku.

Aku tersenyum. "Nggih bu, lagi belajar berhenti."

“Hari ini aja berhentinya, besok ngerokok lagi, ya pak?”

Aku tertawa malu. Gara-gara mengobrol dengan bu Sum, terlewat beberapa menit pengamatanku terhadap pemuda tadi. Saat ini, kulihat ia sudah turun dari motornya dan berdiri di dekat pagar sekolah. Pandangannya tertuju ke halaman sekolah yang terlihat masih sepi.

Beberapa saat kemudian kemudian, bel sekolah berbunyi nyaring. Riuh rendah siswa siswi yang berebut keluar dari kelas masing-masing mulai terdengar. Sembari mengunyah ketela goreng yang masih panas, aku memanjangkan leherku, berusaha mendapatkan pemandangan yang lebih jelas ke arah lelaki berumur dua puluhan tadi, yang sepertinya telah tenggelam di antara kerumunan anak-anak yang mulai keluar dari pagar.

"Ngeliatin siapa to, pak Rudi. Dari tadi serius banget."

"Saya kan suka ngamatin orang-orang, bu Sum."

"Sama donk, Pak. Selain nyari duit, salah satu hal yang saya suka dari buka warung ini ya itu, jadi tahu dan kenal macam-macam orang, sifatnya, kebiasannya, macem-macem deh."

Aku hendak menanggapi bu Sum, namun kuurungkan. Pemuda berjaket hitam itu tiba-tiba sudah berdiri di hadapanku. Tangan kirinya memeluk helm, sedang tangan kanannya menggandeng tangan bocah perempuan berseragam merah putih. Sepertinya anak itu baru saja menangis, karena kedua pipi bulatnya terlihat basah, matanya pun sembab.

"Sudah, ya Pak," ujar pemuda itu seraya melepaskan genggaman tangannya dari gadis kecil itu, yang secepat kilat menghambur ke pangkuanku.

"Terima kasih, mas. Sudah dipastikan tidak ada yang lihat? Satpam? Bu gurunya?"

"Aman, pak. Walau Nadia sempat menangis, tidak ada yang curiga."

Aku mengangguk puas. Kuserahkan sepucuk amplop coklat kepada pemuda itu, yang segera menghilang dari pandangan. Bu Sum, yang sedari tadi mengamati kami, mendekat ke mejaku. Sambil mengelus lembut rambut Nadia yang dikepang dua, ia berkata, "Apa kabar, nduk? Lama ya ndak ketemu sama bu Sum.”

Nadia mengusap ingus di atas bibirnya dengan pungung tangannya. Sesekali ia masih terisak. Lalu ia menatapku dengan kedua mata bundarnya yang selalu kurindukan setahun terakhir. "Kenapa baru sekarang Papa jemput aku? Jangan pulang ke rumah Mama ya, Pa. Aku mau ikut Papa terus."

“Pasti, nak. Nadia bakal sama Papa terus. Tidak akan terpisah lagi.”

Kulemparkan pandangan penuh arti kepada bu Sum. Wanita paruh baya itu menggerakkan telunjuk dan ibu jarinya melintasi bibirnya yang mengatup, layaknya menutup ritsleting, lalu mengangguk pelan.

“Ayo, nak. Kita segera pergi dari sini, sebelum ada yang mencari.”

***

Comments

Popular posts from this blog

Rindu Pantai