Tentang Cita-Cita

Tetiba teringat tahun lalu, saat saya menghadiri acara perpisahan anak TK B di sekolahnya si kecil. Sambutan yang disampaikan oleh ibu Pengawas Sekolah cukup membuat saya termenung. Beliau bertutur tentang cita-cita anak TK. Umumnya ketika mereka disodori pertanyaan tentang mau jadi apa kelak, jawabannya adalah : polisi / dokter / guru / insinyur / tentara, pokoknya cita-cita mainstream anak usia dini, tanpa tahu betul sebenarnya itu apaan sih.

Seiring waktu, cita-cita itu berubah. Apalagi kalau sudah lulus SMA, puyeng deh milih jurusan apa, karena nggak paham mau dibawa kemanaa hubungan kita..eh..hidup kita. Beliau bercerita bahwa putranya yang telah menjadi dokter mengatakan bahwa jadi dokter itu tidak enak (saya paham maksudnya bahwa tidak enaknya dalam tanda kutip). Intinya, anak kecil memang belum paham sama sekali arti cita-cita.

Saya ngaca ke diri sendiri. Dari kecil pingin jadi dokter. Gedean dikit pingin jadi dosen kayak papa. Lulus sma pusing, ga punya skill kece yang bisa dijadikan modal, hanya mengandalkan kemampuan menjawab pertanyaan-pertanyaan UMPTN. Dengan agak tutup mata ahirnya pilih arsitektur, pokoknya kudu teknik lah waktu itu.

Menurut KBBI, arti cita-cita adalah keinginan (kehendak) yang selalu ada di dalam pikiran. Berarti jika belum dipikirkan terus menerus, dan hanya numpang lewat aja di otak, itu bukan cita-cita. Pingin jadi pengusaha sukses, tapi yang di pikirkan tiap hari cuma gimana caranya gali lubang tutup lubang, ya nonsense..#tamparmukasendiri.

foto : https://jagad.id/

Balik ke topik utama. Anak-anak, dengan kepolosan pikirannya, setiap melihat seseorang yang dirasa menarik dan mengagumkan baginya, pasti bilang "ayah, bunda, aku nanti kalau sudah besar boleh ya jadi kayak gitu". Disitulah saya melihat bahwa seharusnya memang bukan cita-cita profesi yang harus terus dipertanyakan atau diperkenalkan kepada anak-anak, tapi cita-cita keahlian.

Contoh kecil, anak saya setiap liat ayahnya utek-utek motor selalu pasang ekspresi takjub sambil nongkrong di deket ayahnya. Next, ambil motor mainan dia, dimiringin, ambil seperangkat alat pertukangan, dan mulailah jadi montir cilik. Atau pas saya masak (note : masaknya saya adalah masak sederhana) dia selalu setia ngintipin sambil celoteh "nanti aku kalau sudah SMP bisa masak kayak bunda ya".
Dan celotehan2 berikut ini sering didengungkan tiap hari :
"nanti aku SD bisa setrika sendiri ya bun",
"aku kalau udah gede pingin bisa nggambar rumah kayak bunda",
"kalau udah gede aku harus pinter mbikin-mbikin apa-apa sendiri kayak ayah",
"aku boleh nyuci piring sendiri ya bun nanti kalau sudah SD?"
dan beragam celotehan lain.

Jadi mungkin kalau dia ditanya nanti gede mau jadi apa, bingung kali ya, karena dia ga paham profesi. Yang dia pahami adalah skill. Anak saya pernah satu kali mengutarakan profesi yang dia inginkan "aku pingin jadi polisi bun, soalnya seragamnya bagus dan bisa nangkap maling", yang langsung saya sambut dengan gelak tawa. Begitulah..

Sekali lagi, berkaca pada kegagalan saya menemukan jati diri di usia remaja, maka saya nggak ingin anak saya mengulang kesalahan yang sama. Semoga dengan segala keterbatasan skill yang orangtuanya miliki, ia dapat menyerapnya dengan baik. Selanjutnya terserah dia mau memilih jalan hidup seperti apa, yang jelas jika bekal basic skills sudah dimiliki insyaAllah kedepannya akan mudah menaklukkan ujian dan tantangan yang menghadang.

Comments

Popular posts from this blog

Rindu Pantai

NADIA