SURAT CINTA UNTUK AYAH (Part 1)
1
Mia
menatap lekat pada gundukan tanah merah di depannya. Pemandangan itu bukanlah
hal baru bagi netranya. Mungkin satu, atau dua kali ia pernah melihatnya. Persis
seperti ini, hanya saja kali ini batu penanda yang ditancapkan di salah satu
ujungnya berwarna hitam, dan nama yang tertera di permukaan batu itu adalah
nama yang sangat dikenalnya.
Sebagian
besar peziarah yang melihatnya merasa bersimpati sangat dalam dan mengagumi ketegarannya. Sekalipun begitu,
sulit bagi mereka mengira-ngira, hal apa gerangan yang sedang berkelebat di
pikiran gadis sebelas tahun itu. Raut mukanya datar. Bahasa tubuhnya terlihat
tenang. Tangan kanannya menggenggam erat tangan ibunya, sedangkan tangan
kirinya mencengkeram rok kakak tertuanya, Elia, yang entah sampai kapan akan
terus tersedu-sedu.
Prosesi
pemakaman telah selesai setengah jam yang lalu. Hari Jum’at, dan saat ini waktu
telah menunjukkan pukul 11.10. Sebagian besar peziarah laki-laki mulai undur
diri, setelah sebelumnya berpamitan kepada Eva, atau mereka biasa memanggilnya
bu Elang. Wanita yang masih terlihat muda di usianya yang menginjak empat puluh tujuh itu menyampaikan terima kasih sembari
berjuang keras menyunggingkan seulas senyum kepada mereka.
Eva
dan Mia memiliki wajah yang sangat mirip, hanya warna mata mereka saja yang
berbeda. Nampaknya Mia mewarisinya dari sang ayah. Sedangkan Elia mewarisi
semuanya dari sang ayah, begitu juga sifatnya. Tak heran banyak yang menyangsikan
apakah Mia dan Elia benar-benar kakak beradik.
Ketika
salah satu rombongan peziarah hendak meninggalkan tempat, salah satu dari mereka
berhenti di sebelah Elia, kemudian berbisik di telinga remaja dua puluh empat tahun
itu, “Elia, dimana adikmu yang satu lagi?”
Elia
mengerjapkan matanya, mengeluarkan sisa air mata yang masih terus menerus
menggenang. Ia menoleh ke arah wanita yang berbisik tadi, yang tingginya hanya
sebatas telinganya. Beberapa helai rambutnya nampak mencuat keluar dari
kerudungnya, menutupi dahi kirinya.
“Inggrid
masih dalam perjalanan, tante Nina” jawab Elia singkat.
Bukan
bermaksud tidak sopan, hanya saja ia memang tidak punya jawaban untuk
pertanyaan yang telah dilontarkan padanya oleh hampir semua kerabatnya sejak
kemarin sore. Prosesi pemakaman sengaja dilakukan pagi ini, bukannya kemarin
malam. Hanya karena menunggu kedatangan putri kedua sang almarhum, yang
ternyata hingga detik ini belum terlihat tanda-tanda kemunculannya.
Wanita
yang dipanggil tante Nina tadi mengangguk, menepuk bahu Elia dan Mia dengan
lembut, kemudian berlalu. Tak terasa, hanya tinggal Eva dan dua putrinya disana. Terik matahari mulai terasa, setelah beberapa jam yang lalu tertahan
oleh mendung. Tiba-tiba Mia melepaskan genggaman tangannya dari ibu dan kakaknya. Ia
duduk bersimpuh di depan pusara sang
ayah dan membelai lembut untaian huruf pada batu nisan. Perlahan, tubuhnya mulai
berguncang. Makin lama makin hebat.
Secepat
kilat, Eva membungkuk dan menahan tubuh putri bungsunya agar tidak terjatuh. Dari
tempatnya berdiri, Elia bisa mendengar tangis Mia yang menderu, tak ubahnya
seperti air bah yang menerjang tanggul hingga roboh. Tak ada lagi kepura-puraan, tak ada lagi yang perlu tertahan. Ini adalah hari paling kelabu
dalam kehidupan wanita-wanita itu.
Comments
Post a Comment