Posts

NADIA

Dari tempatku duduk saat ini, aku bisa melihat gerak-gerik pemuda itu dengan cukup jelas. Duduk di atas motor bebek warna merah yang terparkir di depan sebuah sekolah dasar, ia nampak gelisah. Selama dua puluh menit aku disini, kulihat sudah lima kali ia menengok jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kanannya. Selama itu pula aku sudah menghabiskan lima pisang goreng dan secangkir kopi tubruk nyamleng buatan bu Sum, pemilik warung langgananku ini. "Tumben ndak nge rokok, pak Rudi," celutuk bu Sum sembari meletakkan sepiring ketela goreng di hadapanku. Aku tersenyum. " Nggih bu, lagi belajar berhenti." “Hari ini aja berhentinya, besok ngerokok lagi, ya pak?” Aku tertawa malu.  Gara-gara mengobrol dengan bu Sum, terlewat beberapa menit pengamatanku terhadap pemuda tadi. Saat ini, kulihat ia sudah turun dari motornya dan berdiri di dekat pagar sekolah. Pandangannya tertuju ke halaman sekolah yang terlihat masih sepi. Beberapa saat kemudian kemudian, bel seko

Tentukan Prioritasmu!

Maukah kalian menemaniku sejenak, menyusuri lorong waktu, kembali ke 12 tahun yang lalu ketika aku masih berumur 25 tahun. Usia yang masih sangat muda (dibanding usiaku saat ini, tentu saja). Waktu itu aku menginginkan hal-hal umum yang diinginkan oleh kebanyakan wanita : menikah, memiliki pekerjaan yang mapan, atau melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Akan tetapi, ketika kamu hanya mempunyai satu gelas, dan di depanmu tersedia teh, kopi dan es jeruk, bisakah kau memilih salah satu tanpa merasa sedih tidak bisa mencicipi dua lainnya? Atau kamu tetap bersikeras mencampurkan dua jenis atau tiga-tiganya sekaligus tanpa menghiraukan protesnya lidahmu? Saat itu, aku tidak memahami diriku sendiri. Apa yang benar-benar aku butuhkan, bukan semata yang aku inginkan. Untuk seorang overthinker sepertiku, itu sangat menyiksa. Kepalaku penuh dengan suara-suara. Yang satu berbisik, ‘Cepetan nikah, kamu sudah ngebet kan?nggak capek apa ditanyai banyak orang??’. Satunya lagi berteriak, ‘Mumpung

SURAT CINTA UNTUK AYAH (Part 1)

Image
  1 Mia menatap lekat pada gundukan tanah merah di depannya. Pemandangan itu bukanlah hal baru bagi netranya. Mungkin satu, atau dua kali ia pernah melihatnya. Persis seperti ini, hanya saja kali ini batu penanda yang ditancapkan di salah satu ujungnya berwarna hitam, dan nama yang tertera di permukaan batu itu adalah nama yang sangat dikenalnya. Sebagian besar peziarah yang melihatnya merasa bersimpati sangat dalam dan mengagumi ketegarannya. Sekalipun begitu, sulit bagi mereka mengira-ngira, hal apa gerangan yang sedang berkelebat di pikiran gadis sebelas tahun itu. Raut mukanya datar. Bahasa tubuhnya terlihat tenang. Tangan kanannya menggenggam erat tangan ibunya, sedangkan tangan kirinya mencengkeram rok kakak tertuanya, Elia, yang entah sampai kapan akan terus tersedu-sedu.  Prosesi pemakaman telah selesai setengah jam yang lalu. Hari Jum’at, dan saat ini waktu telah menunjukkan pukul 11.10. Sebagian besar peziarah laki-laki mulai undur diri, setelah sebelumnya berpamitan kepada E

Persahabatan

 oleh : Lee Ara (@itsleeara)   Maukah kau kuceritakan kisah tentang seorang gadis remaja yang pemalu, berambut pendek, bertubuh mungil yang kerap dirundung ketika ia masih di sekolah dasar?Oh, bahkan sejak taman kanak-kanak ia sudah akrab dengan hal itu. Tidak inginkah kalian memahami perasaannya ketika ia berhasil melewati masa-masa kelam itu, dan menikmati masa remajanya dengan caranya sendiri?Oke, oke, baiklah, langsung saja aku ceritakan.  Sebut saja namanya Vina. Sebelum memasuki masa remaja, baginya surga dunia itu hanyalah di rumahnya, berkumpul bersama kedua orang tuanya dan kakak perempuannya. Dia tidak bisa menikmati indahnya sekolah karena harus berhadapan dengan segelintir temannya yang hobby nya merundung dirinya. Walau hanya segelintir, tapi itu cukup membuat hari-harinya kelabu. Akan tetapi, bukan itu yang membuat ia merasa merana. Perundungan bisa saja menjadi tidak berarti jika si korban mampu berkata tidak, apalagi jika ia bisa melakukan tindakan balasan yang memb

Cari Meja Makan Minimalis? Simak Dulu Artikel Berikut Ini

Image
  Di saat kebanyakan sektor industri mulai goyah akibat resesi yang terjadi di era pandemi Covid-19 ini, industri konstruksi sepertinya tidak bergeming. Para pekerja bangunan tidak perlu merasa takut akan kehilangan lahan pekerjaan, bahkan  salary  yang mereka dapatkan bisa jadi semakin meningkat. Proyek-proyek besar di sektor pemerintah maupun swasta, hingga proyek kecil-kecilan masih terus berlangsung hingga saat ini. Setali tiga uang dengan sektor desain interior, dimana permintaan akan renovasi interior tidak mengalami penurunan. Terlebih, dengan adanya tuntutan WFH ( work from home ) bagi sebagian besar karyawan, mendorong mereka untuk lebih memperhatikan kenyamanan di dalam rumah yang selama ini terabaikan.  Setidaknya, itulah yang saya amati selama 11 bulan terakhir, baik dari pengalaman saya sendiri maupun dari cerita rekan yang sama-sama bergelut di dunia arsitek atau desain interior. Beberapa  client  meminta rumahnya untuk direnovasi, minimal interiornya. Tentu saja terg

Tentang Cita-Cita

Image
Tetiba teringat tahun lalu, saat saya menghadiri acara perpisahan anak TK B di sekolahnya si kecil. Sambutan yang disampaikan oleh ibu Pengawas Sekolah cukup membuat saya termenung. Beliau bertutur tentang cita-cita anak TK. Umumnya ketika mereka disodori pertanyaan tentang mau jadi apa kelak, jawabannya adalah : polisi / dokter / guru / insinyur / tentara, pokoknya cita-cita mainstream anak usia dini, tanpa tahu betul sebenarnya itu apaan sih. Seiring waktu, cita-cita itu berubah. Apalagi kalau sudah lulus SMA, puyeng deh milih jurusan apa, karena nggak paham mau dibawa kemanaa hubungan kita..eh..hidup kita. Beliau bercerita bahwa putranya yang telah menjadi dokter mengatakan bahwa jadi dokter itu tidak enak (saya paham maksudnya bahwa tidak enaknya dalam tanda kutip). Intinya, anak kecil memang belum paham sama sekali arti cita-cita. Saya ngaca ke diri sendiri. Dari kecil pingin jadi dokter. Gedean dikit pingin jadi dosen kayak papa. Lulus sma pusing, ga punya skill kece ya

Monster itu bernama GERD (part 2)

Image
(  Part 1 ditulisnya 2018, part 2 2020, ketauan kaan betapa moody nya sayaa ) Lanjut soal si monster yang mulai menampakkan taringnya.. Singkat cerita setelah mengalami peristiwa yang bagi saya cukup traumatis itu, saya menemukan diri saya menjadi tidak se carefree dulu lagi, jadi mudah parno, feeling insecure . Kenapa bisa traumatis? Karena itu pertama kali dalam hidup saya merasakan tubuh saya menunjukkan gejala tidak normal, yang dalam pikiran saya sempat terbersit "saya mau mati". Iya, bener, itu yang ada di pikiran waktu itu. Efeknya, keseharian saya jadi seperti terbebani dengan pikiran "moga-moga hari ini nggak kumat", dimana saat itu saya sendiri tidak ngeh sebenernya sakit apa sih ini. Monster apa sih yang sedang bersembunyi di tubuhku, seolah mengintai, kapan saja dia bisa keluar menakutiku. Pokoknya sedikit aja merasa tidak enak di perut atau dada, paniklah saya, langsung meringkuk di kasur, berdoa supaya "badai" segera berlalu.  Dan